Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang melahirkan ideologi ini dulu secara jujur mengakui keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka untuk mampu memberikan pengertian dan analisa final yang dapat secara terus menerus. Mereka tampaknya mengakui bahwa visi mereka tak mampu menjangkau perkembangan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan memberikan peluang tersebut, berarti mereka memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk memperbaiki atau menyempurnakannya, karena ideologi dituntut harus mempunyai fleksibilitas yaitu membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali dari waktu ke waktu sesuai dengan proses perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Apa Itu Ideologi?
Secara etimologis, istilah ideologi berasal dari kata Yunani yaitu ‘idea’ yang berarti pemikiran, gagasan dan konsep keyakinan serta ‘logos’ yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, konsep ideologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Ideologi dapat dibedakan menjadi dua jenis:
Pertama, ideologi doktriner. Ideologi ini bersifat ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang disusun secara jelas dan sistematis, serta diindoktrinasikan pada komunitasnya dengan pengawasan ketat dalam rangka pelaksanaan ideologi dan seringkali dimonopoli oleh rezim yang berkuasa. Dalam hal ini, berarti pemimpin suatu negara memiliki kendali penuh dan kekuasaan dalam pelaksanaan negara beserta ideologi yang dianut. Kedudukan pemimpin negara seolah berada di atas kedudukan ideologi dan sistem pemerintahan akan bersifat otoriter.
Kedua, ideologi pragmatis. Ideologi ini bersifat tidak ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang tidak disusun secara rinci, tidak diindoktrinasikan, serta tidak memiliki pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya (Emile Durkheim dalam George Simpson, New York, Free Press, 1964.54).
Dalam pengertian lain, Alfian mendefinisikan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan. Karenanya, ideologi berfungsi menjadi tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan alat ukur perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Idiologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Implikasi Logis Pancasila Sebagai Ideologi
Sejak dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara eksplisit maupun implisit Pancasila mengandung konsekuensi logis bagi seluruh organ-organ dan masyarakat yang hidup tumbuh berkembang dalam Negara Indonesia merdeka untuk menyandarkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atas dasar Pancasila. Ideologi Pancasila juga memberikan sandaran bagi lalu lintas kehidupan umat manusia di Indonesia.
Suatu ideologi yang dibuat harus berorientasi pada kehidupan masyarakat, mengapa? Hal ini dikarenakan dalam setiap proses pergaulan, apalagi dalam terminologi bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia haruslah dibutuhkan suatu ‘aturan main’ yang tentunya disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik pluralitas dan heterogenitas yang mungkin muncul akan dapat terminimalisir, serta bagaimana nilai-nilai dalam ideologi tersebut mengkonstruk struktur sosial yang mempunyai visi kebangsaan yang sama meski berawal dari keragaman (kepentingan). Namun demikian, bukan berarti kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi ideologi. Sebab, selalu saja dialektika yang berkesinambungan antara ideologi dengan kenyataan kehidupan masyarakatnya akan menentukan kualitas dari ideologi tersebut.
Relasi Ideologi dengan Realitas Sosial
Setelah berbicara panjang lebar dan mengenali suatu ideologi, lantas apakah korelasi logis antara sebuah ideologi (dalam hal ini adalah Pancasila) dengan kenyataan kehidupan masyarakat? Sebuah ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kenyataan hidup masyarakat, namun ideologi adalah sebuah produk atau hasil dari kebudayaan masyarakat. Dan karenanya, dalam artian tertentu merupakan manifestasi sosial dari keinginan luhur masyarakat. Artinya, perumusan suatu ideologi Pancasila seharusnya dimaknai dari adanya keinginan untuk mewujudkan suatu struktur dan konstruk masyarakat yang diidealisasikan sesuai dengan keadaannya.
Pada hakikatnya sebuah ideologi tidak lain merupakan sebuah refleksi manusia atas kemampuannya dalam mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi sebuah hubungan dialektis yang menimbulkan kelangsungan pengaruh hubungan timbal balik yang terwujud dalam sebuah interaksi. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir dan bertata kehidupan masyarakat serta membentuk masyarakat menuju cita-cita yang telah diharapkan bersama sehingga ideologi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pengetahuan teoritis saja, namun lebih merupakan sesuatu yang dihayati menjadi sebuah keyakinan.
Adakah Kritik Terhadap Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi?
Dalam perjalanannya, Pancasila memang kerap kali mendapatkan kritik dari masyarakat dengan melayangkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperdebatkan ‘keabsahan’ Pancasila sebagai sebuah ideologi Indonesia. Seperti munculnya gagasan diberlakukannya federalisme dalam sistem kenegaraan Indonesia, fenomena munculnya kembali partai-partai politik, organisasi massa dan organisasi kepemudaan yang memakai asas di luar Pancasila dalam menjalankan aktivitas administrasi dan organisasinya. Berbagai bentuk penyelewengan atas Pancasila tidak harus dimaknai sebagai sebuah alasan untuk menggantikan ideologi suatu negara. Penyelewengan adalah bukti ketidakseriusan pengelola negara dalam menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itulah sebabnya, agar berbagai penyelewengan atas Pancasila dapat diminimalisir, maka sudah saatnya Pancasila didudukkan kembali menjadi ideologi terbuka yang harus terus menerus disempurnakan sehingga pada akhirnya selalu ‘up to date’ untuk menjawab persoalan yang timbul di negara Indonesia.
Kekuatan Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Kekuatan ideologi Pancasila dapat diukur dari tiga dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Dimensi Realitas, dimana sebuah ideologi mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya.
2. Dimensi Idealitas, dimana suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat akan mampu mengetahui ke mana mereka ingin membangun kehidupan bersama.
3. Dimensi Fleksibilitas, dimana sebuah ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran baru yang relevan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Berdasar pada ketiga dimensi tersebut, Pancasila jelas memenuhi standar realitas, idealitas dan fleksibilitas, karena dinamika internal yang terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Secara ideal-konseptual, Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh, kenyal dan bermutu tinggi. Dinamika internal yang terkandung dalam suatu ideologi biasanya mempermantap, mempermapan dan memperkuat relevansi ideologi tersebut dalam masyarakatnya.
Namun hal tersebut tetap bergantung pada kehadiran beberapa faktor di dalamnya yaitu: kualitas nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut; persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya; kemampuan masyarakat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan terhadap ideologinya; serta menyangkut seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi tersebut membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan berbagai dimensinya.
Perjalanan Pancasila Sebagai Ideologi dari Masa ke Masa
Berawal dari sidang pleno BPUPKI pertama yang diadakan pada tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Ketika itu, dr. Radjiman Widyodiningrat dalam pidato pembukaannya selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota sidang mengenai dasar negara apa yang akan dibentuk untuk Indonesia. Pertanyaan ini menjadi persoalan paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945 dan memunculkan sejumlah pembicara yang mengajukan gagasan mereka mengenai dasar filosofis Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, secara eksplisit Ir. Soekarno mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”. Menurut Drs. Mohammad Hatta, pidato tersebut bersifat kompromis dan dapat meneduhkan pertentangan tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler. Perdebatan tersebut pada akhirnya dimenangkan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa rumusan Piagam Jakarta diganti dan menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Soekarno dan Mohammad Hatta dan terus berkembang hingga masa pemerintahan Soeharto, sampai-sampai Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibandingkan negara-negara lain. Melihat pada perkembangan perumusan Pancasia sejak 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan Panitia Sembilan dan disepakati oleh Sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara.
Pada era Orde Lama, dinamika perdebatan ideologi paling sering dibicarakan oleh kebanyakan orang. Tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan lagi merupakan kompromi atau titik temu bagi semua ideologi. Dikarenakan Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk melegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam yang kemudian pada rentang tahun 1948-1962 terjadi pemberontakan Darul Islam terhadap pemerintah pusat. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, atas desakan AH Nasution, selaku Pangkostrad dan kepala staf AD, pada 5 Juli 1959 Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945 sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia dan pemerintahannya dinamai dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pun ternyata tidak semulus yang diharapkan. Periode labil ini justru telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Bahkan, Soekarno membatasi kekuasaan partai politik yang ada serta mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Soekarno juga menganjurkan sebuah konsep yang dikenal dengan NASAKOM yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan politis dan ideologis yang saling bertentangan menimbulkan struktur politik yang sangat labil sampai pada akhirnya melahirkan peristiwa G 30S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Soeharto mengambil Pancasila sebagai dasar negara dan ini merupakan cara yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai bentuk perdebatan ternyata tidak semakin membuat stabilitas negara berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang semakin mengedepan dikarenakan Soeharto seringkali mengulang pernyataan tegas bahwa perjuangan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, yang berarti bahwa tidak boleh ada yang menafsirkan resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada masa reformasi (setelah rezim Soeharto runtuh), seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dianggap menindas dengan konfrimitas ideologinya. Pada era ini timbul keingingan untuk membentuk masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial tanpa kooptasi penuh dari negara. Lepas kendalinya masyarakat seolah menjadi fenomena awal dari tragedi besar dan konflik berkepanjangan. Tampaknya era ini mengulang problem perdebatan ideologi yang terjadi pada masa Orde Lama, Orde Baru, yang berakhir dengan instabilitas politik dan perekonomian secara mendasar. Berbagai bentuk interpretasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila dan berakibat pada Pancasila yang menjadi sebuah mitos, selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan serta nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai yang distopia, bukan sekedar utopia.
Seperti Apakah Reaktualisasi Ideologi Pancasila?
Pancasila jika akan dihidupkan secara serius, maka setidaknya dapat menjadi etos yang mendorong dari belakang atau menarik dari depan akan perlunya aktualisasi maksimal setiap elemen bangsa. Hal tersebut bisas saja terwujud karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar di dalamnya, yaitu: Kesatuan/Persatuan, kebebasan, persamaan, kepribadian dan prestasi. Kelima prinsip inilah yang merupakan dasar paling sesuai bagi pembangunan sebuah masyarakat, bangsa dan personal-personal di dalamnya.
Menata sebuah negara itu membutuhkan suatu konsensus bersama sebagai alat lalu lintas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa konsensus tersebut, masyarakat akan memberlakukan hidup bebas tanpa menghiraukan aturan main yang telah disepakati. Ketika Pancasila telah disepakati bersama sebagai sebuah konsensus, maka Pancasila berperan sebagai payung hukum dan tata nilai prinsipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dan sebagai ideologi yang dikenal oleh masyarakat internasional, Pancasila juga mengalami tantangan-tantangan dari pihak luar/asing. Hal ini akan menentukan apakah Pancasila mampu bertahan sebagai ideologi atau berakhir seperti dalam perkiraan David P. Apter dalam pemikirannya “The End of Idiology”. Pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia sendiri dan berwujud lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang berkeadilan sosial.
Dengan demikian Pancasila bukanlah imitasi dari ideologi negara lain, tetapi mencerminkan nilai amanat penderitaan rakyat dan kejayaan leluhur bangsa. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi tergantung pada kesadaran, pemahaman dan pengamalan para pendukungnya. Pancasila selayaknya tetap bertahan sebagai ideologi terbuka yang tidak bersifat doktriner ketat. Nilai dasarnya tetap dipertahankan, namun nilai praktisnya harus bersifat fleksibel. Ketahanan ideologi Pancasila harus menjadi bagian misi bangsa Indonesia dengan keterbukaannya tersebut.
Pada akhirnya, semoga seluruh bangsa dan negara Indonesia serta Pancasila sebagai ideologinya akan tetap bertahan dan tidak goyah meskipun dihantam badai globalisasi dan modernisme. Sebagai generasi penerus, marilah kita menjaga Indonesia dan Pancasila agar saling berdampingan dan tetap utuh hingga anak cucu kita nantinya sebagai penerus kelangsungan negara ini.
Sumber : http://klaussurinka.blogspot.com/2010/05/pancasila-sebagai-ideologi-bangsa-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar